SUGENG RAWUH asalcoret: July 2011

Monday 11 July 2011

Review Film ” SANG PENCERAH “

     Muhammad Darwis adalah seorang anak dari Abu Bakar yang dulunya seorang khotib di masjid besar Kauman yang biasa di panggil darwis oleh keluarga dan teman-teman dekatnya. Pada saat umur 15 tahun, Darwis banyak melihat budaya sesajen berbaur agama Islam yang menurutnya menyesatkan. Kemudian Darwis memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam. Sebelum berangkat ke Mekkah, Pakde-nya berpesan agar ia belajar di Mekkah untuk membawa perubahan untuk Kauman. Tidak seperti kyai-kyai sebelumnya yang sudah belajar disana tetapi masih saja mengikuti tradisi yang dilakukan di Kauman.
    Sepulang dari Mekkah, Darwis mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Nama Ahmad Dahlan itu sendiri berasal dari gurunya sewaktu belajar di Mekkah dan Beliau menikah dengan Siti Walidah.
Setelah belajar di Mekkah belajar selama 5 tahun, ia mencoba melihat apakah arah sholat yang berada pada meswjid besar itu benar atau salah. Ia sudah mengukurnya dengan kompas dan menghitung jarak di peta, apakah arah yang selama ini diyakini sebagai arah kiblat menghadap Mekkah apa tidak. Ia juga bertanya pada Kyai-Kyai dari masjid lain. Malahan ada Masjid yang menghadap ke arah timur laut.
    Dengan keyakinan bahwa perkiraan arah kiblat yang sebelumnya mengarah pada Afrika menjadi arah Ka’bah di Mekkah dengan mengubah arah kiblat menghadap barat laut, yaitu 23 derajat dari arah sebelumnya.
    Melalui langgar/ surau-nya, Ahmad Dahlan mengawali pergerakan mengubah arah kiblat yang salah di masjid besar kauman. Akan tetapi, perubahan itu ditentang oleh kyai penghulu cholil kamalidiningrat marah. Ditengah kemarahan emosi yang memuncak, kyai penghulu memerintahkan untuk membongkar surau yang telah didirikan Ahmad Dahlan karena sudah dianggap merusak tradisi yang berlaku ketat di Yogyakarta dan dianggap mengajarkan agama aliran sesat.
Karena merasa sakit hati, Ahmad Dahlan dan Istrinya yaitu Siti Walidah memutuskan untuk pergi dari desa Kauman. Tetapi keputusannya itu tidak disetujui olek kakak Ahmad Dahlan. Ia mengatakan bahwa keluarganya maswih butuh pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan. Kakaknya juga berjanji akan mendirikan surau untuk Ahmad Dahlan sebagai sarana belajar mengaji dan tempat ibadah.
   Dengan dana dari kakak dan istrinya, Ahmad Dahlan Akhirnya dapat mendirikan Suraunya dan membuka sekolah yang menyadarkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan tentang tauhid, tetapi juga mampu memperbaiki kesejahteraan melalui pendidikan.
KH. Ahmad Dahlan sukses menyampaikan pesan penting dari inti surat Al-Ma’un yang menjadi gerakannya dalam mengelola sebuah masyarakat yang mengalami kemiskinan, kesengsaraan untuk memperoleh kesejahteraan sekaligus kesehatan.
   Ahmad Dahlan ingin mengjarkan ilmunya, ia mencoba untuk mengajarkan agama Islam di sekolah pemerintah Belanda. Awalnya pengurus sekolah itu tidak yakin akan berhasil, tetapi Ahmad Dahlan membujuknya agar ia diberi kesempatan sekali untuk mengajarkan agama islam. Dan akhirnya beliau diijinkan untuk mencoba.
   Pada saat percobaan itu, ketika Ahmad Dahlan memberi salam, tidak ada satupun murid yang menjawab salam itu. Ketiga kalinya memberi salam, salah satu murid ada yang mengeluarkan kentut. Ahmad Dahlan tidak marah, ia menerangkan tentang kebesaran Allah yang telah memberikan manusia lubang untuk membuang gas-gas yang berada dalam perut. Karena cara mengajar yang asyik, murid-murid tertaruk untuk diajar Ahmad Dahlan, dan Beliau pun resmi mengajar di sekolah itu.
    Namun hal itu tidak disetujui oleh keluarga dan murid-muridnya dulu seperti sudja. Ahmad Dahlan dianggap kafir karena telah mengajar di sekolah pemerintah Belanda. Beliau juga dituduh sebagai kyai kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan Jawa di Budi Utomo. Tetapi tuduhan itu tidak membuat pemuda Kauman itu surut untuk menegakkan agam islam yang telah melenceng dari ajaran sebelumnya.
   Para murid yang berada di sekolah pemerintah Belanda tertarik belajar pada Ahmad Dahlan karena mereka tahu bahwa Ahmad Dahlan akan mendirikan sekolah disuraunya. Bagi Ahmad Dahlan, Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin, memberikan kedamaian bagi siapa saja termasuk non muslim. Selama masih dalam koridor membangun kesejahteraan masyarakat. Baginya, hal pertama yang seharusnya dikedepankan umat Islam adalah akhlaq yang baik, terbuka dan toleran seperti Rasulullah SAW. Secara perlahan, kiprah Dahlan muda yang dianggap kontroversi mampu mengubah tidak hanya pandangan umat Islam kebanyakan, tetapi kaum barat terhadap Agama Islam.
Didampingi isteri tercinta, Siti Walidah, dan 5 murid-murid setianya yakni Sudja, Fahrudin, Hisyam, Syarkawi, dan Abdulgani, Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.
   Lagi-lagi hal itu ditentang oleh para kyai penghulu. Organisasi Muhammadiyah dianggap sebagai ajaran agama yang sesat dan kyai penghulu berpikiran bahwa Ahmad Dahlan akan menjadi Resident.
Munculnya organisasi ini juga menimbulkanpertentangan antara masyarakat yang menentang Ahmad Dahlan dan yang berpihak pada Ahmad Dahlan. Seiring berjalannya waktu, akhirnya kyai penghulu memyadari kesalahannya itu. Ia menyetujui pembaharuan yang dilakukan oleh ahmad dahlan.
Itulah cerita yang saya peroleh dari film Sang Pencerah yang dimulai dari lahirnya Ahmad Dahlan, pembaharuan yang dilakukan Ahmad Dahlan serta tantangan-tantangan yang telah dihadapi hingga menjadi seperti sekarang ini.
Berikut gagasan-gagasan yang dilakukan Ahmad Dahlan dalam film sang pencerah :
  1. Bidang Agama
  1. Mengubah arah kiblat yang dulunya mengarah sebelah barat menjadi serong 23 derajat dari posisi semula
  2. Menegakkan kembali kepada Al-Qur’an dan As sunnah
  3. Menghilangkan praktek tradisi yang menimbulkan kesesatan bagi yang menjalaninya
2. Bidang Sosial
  1. Mendirikan Organisasi Muhammadiyah yang bersumber pada Al Qu’an dan Al hadist dan mementingkan kebutuhan masyarkat daripada kebutuhan individu
  2. Sesuai dengan surat Al Ma’un, ia mengajarkan untuk menyatuni fakir miskin

3. Bidang Pendidikan
  1. Mendirikan sekolah yang mengajarkan agama Islam walaupun pada filmya masih berada di suraunya untuk mengajarkan pendidikan kepada anak-anak

Dan Ahmd Dahlan juga menemukan tantangan yang dihadapi dalam mencetuskan gagasan pembaharuan, antara lain:
  1. Para kyai yang menentang adanya perubahan arah kiblat yang dianggap menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan masjid besar
  2. Para warga yang masih menganut tradisi yang masih kental seperti memberi sesajen
  3. Orang-orang yang menganngap Ahmad dahlan kafir karena mengajar di sekolah milik pemerintah Belanda
  4. Dirobohkan suraunya karena arak kiblat yang melenceng
  5. Masyarakat menentang berdirinya Organisasi Muhammadiyah karena dianggap aliran sesat
   Sang Pencerah sebagai sebuah film seperti ingin menjawab “tantangan” yang diberikan oleh K. H. Ahmad Dahlan berabad yang lalu. Kini Sang Pencerah dapat dijadikan sebagai alternatif dakwah. Sebab saat ini, remaja khususnya, mulai malas mengaji. Ilmu agama hanya dipandang sebagai pelengkap pelajaran sehingga yang terjadi adalah minimnya internalisasi nilai-nilai keberagamaan dalam kehidupan bermasyarkat. Sang Pencerah seperti membuka tabir kejumudan mengenai metode dakwah yang cendrung kaku dan membosankan menjadi dinamis dan menarik. Dengan demikian, Sang Pencerah dapat dikatakan sebagai manifestasi dari impian-impian Dahlan yang mengidamkan kader Muhammadiyah untuk terus belajar dan selanjutnya kembali pada Muhammadiyah.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa K. H. Ahmad Dahlan adalah kyai yang modern dan progresif. Pemikirannya jauh melintasi zaman di mana ia hidup. Konsepnya mengenai pendidikan dan pemberdayaan umat masih sesuai dengan kehidupan saat ini. Dahlan bahkan masih hidup saat ini, bukan tentang jisimnya, tetapi tentang pemikiran-pemikirannya.

Arah Kiblat dan Epistimologi Baru

   Kritik ‘Sang Pencerah’ terhadap pelurusan arah kiblat bagiku cukup menarik. Gambaran yang tersaji cukup mewakili sebuah epistimologi berfikir yang berlaku dalam tradisi Islam modernis seperti Muhammadiyah. Metodenya : (1) merujuk pada teks yang sahih, (2) menggunakan akal dan ilmu pengetahuan, (3) menggunakan hati/intuisi sebagai pijakan spiritualnya.
Metode diatas sejalan dengan konsep Bayani (kebenaran teks), Burhani (kebenaran akal/iptek), Irfani (kebenaran intuitif) yang tercantum dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.
   ‘Sang Pencerah’ menggambarkan bahwa Kyai Dahlan melakukan revisi arah kiblat dengan merujuk tuntunan sahih bahwa salat harus kearah kiblat, Kakbah di kota Makkah. Sementara untuk menentukan arah kiblat, Kyai Dahlan menggunakan Kompas dan Peta Dunia sebagai hasil perkembangan jaman. Dan ketika ditanya tentang jaminan kebenaran metodenya, dijawabnya bahwa “Allahlah penentu kebenaran, kita hanya berikhtiar”.
   Metode berfikir ini juga sejalan dengan bagaimana Bukhori dan Muslim mengembangkan epistimologi penelitian Hadist Sahih dengan mengembangkan tradisi kritik. Kritik terhadap teks (matan), kritik terhadap perawi dan konteks (logika), dan juga diakhiri dengan istikharoh, berserah diri kepada Allah setelah ikhtiar maksimalnya sebagai sebuah pencarian kebenaran intuitif.
Melalui ‘Sang Pencerah’ tampaknya Hanung konsisten menggambarkan bahwa pada saat ingin merevisi kiblat, Kyai Dahlan adalah seorang anak muda berumur 21 tahun. Sehingga wajarlah seorang anak muda yang ternyata tidak berhasil meyakinkan majelis ulama itu kemudian digambarkan ‘mbalelo’. Dia dengan tidak mentaati arah kiblat formal yang menurutnya salah, sehingga merubah arah kiblat Langgar (mushola) nya sendiri.
Namun, ternyata tanggapan dari penonton kemudian berkembang, Kyai Dahlan dianggap bukan menjadi Sang Pencerah, namun menjadi Sang Pemberontak yang tidak bijak. Egois karena menjadi orang yang keukeuh pada kebenaran yang diyakininya dan tidak menghormati ulama lain yang berbeda.
   Bukankah normal seorang anak muda berusia 21 melakukan hal-hal yang berkesan konfrontatif membela apa yang diyakini benar ? Karena bagi sebagian penonton, harmoni, walaupun menjebak pada kejumudan berfikir dianggapnya lebih baik.
Padahal seharusnya hakekat harmonisasi adalah sebuah proses saling kritik dalam konteks “Saling ingat mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran” .
Kritik Terhadap Tradisi
Sementara ada tanggapan cukup tajam ketika ‘Sang Pencerah’ mengkritik penggunaan sesaji pada yang menjadi praktek kaum Islam jawa. Padahal yang dilakukan hanyalah mengkritik, bukan memberangus. Mencoba mengajak berfikir ulang, layaknya Descartes yang mengajarkan bahwa “Aku berfikir maka aku ada” , atau berdasarkan ayat pertama Al Qur’an mengajak manusia membaca (Iqro’). Bukankah esensi manusia adalah yang selalu menkritisi dirinya, nenek moyangnya, masyarakatnya ?
Lagi -lagi epistimologi diatas yang seharusnya berlaku bagi manusia yang tercerahkan. Berfikir dengan mencari dasar otentik yang kemudian menghasilkan ketepatan , menggunakan akal untuk mencari kebenaran. Serta mempertanyakannya dengan hati untuk mencapai kebaikan.
Mengkritik bahwa berdo’a dengan sesaji apakah tepat, benar dan baik dimana salahnya ? Inilah sebenarnya pencerahan itu.
Sayangnya, ada yang memiliki pandangan bahwa Sosok Kyai Dahlan di Sang Pencerah tidak layak menjadi Sang Pencerah, karena dalam presepsinya seorang pencerah adalah orang yang tidak menyebabkan konflik didalam masyarkat. Lagi-lagi inilah perbedaan pandangan masyarakat tercerahakan, dimana kultur kompetisi, dialektika dan dialog antar pemikiran yang menjadi konsumsi keseharian mereka . Disinilah yang kemudian harus berhadapan dengan mereka yang atas nama harmoni namun menutup diri sulit tercerahkan.
Hal diatas juga terjadi pada kritik tentang Nyadran, Tahlilan, Yasinan, Selamatan… pesan bahwa Kyai Dahlan mengajak untuk memikirkan kembali (bukan melarang) praktek praktek itu apakah ada dasarnya dalam ajaran agama, atau mempertimbangkan aspek ekonominya dan lain sebagainya tampaknya juga menuai tanggapan negatif dari khalayak pelakunya.
Pendek kata, terbangunnya tradisi kritik adalah salah satu ciri tradisi masyarkat yang tercerahkan .
Isu Liberal dan Pencerahan
   Disisi lain, seperti dalam Perempuan Berkalung Surban, kontroversi akan adanya pesan yang selama ini identik dengan pesan liberal tampaknya juga muncul di khalayak, dimana kita tahu adanya sekelompok umat yang menganggap bahwa gambaran para Kyai penentang Kyai Dahlan itu sama saja menghina para Ulama. Ketika digambarkan seorang Kyai di Perempuan Berkalung Surban menjadi sangat jumud ketika tergambar mengekang putrinya, dalam Sang Pencerah dianggap mereka kembali terulang.
   Bagi yang tidak mengerti sejarah, banyak yang menyayangkan mengapa Hanung tega menggambarkan bagaimana konservatifnya para Kyai penentang Kyai Dahlan. Bahkan bagaimana terjadi seorang Penghulu kok bisa bisanya salah membaca tulisan Residen dan Presiden. Demikian juga banyak yang menanggapi mengapa gambaran orang-orang utusan Kyai Cholil Kamaludiningrat ketika akan meruntuhkkan Langgar (Mushola) begitu bodoh ? Teriakan takbir dimana mana yang dianggap selalu identik dengan pejuang Isam padahal yang mereka lakukan adalah meruntuhkan tempat ibadah dianggap mereka menghina. Hanung dianggap tega menggambarkan sisi buruk umat Islam, begitu telanjang di depan publik.
Doktrin Islam adalah agama sempurna tampaknya tanpa sadar dipelintir menjadi : Orang Islam adalah Orang yang Sempurna.
   Belum lagi ketika Kyai Dahlan dianggap kafir karena menggunakan meja, kursi, biola, peta dan kompas yang merupakan buatan otang kafir. Demikian juga ketika Kyai Dahlan dianggap kafir karena berpakaian seperti belanda, mengajar sekolah Belanda atau bekerjasama dengan Budi Utomo yang identik sebagai organisasi priyayii kejawen.
Atau ketika majalah Al Manar yang identik dengan pembaharuan Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afgahani yang memang masih sulit diterima oleh kalangan salaf karena tinggal di Perancis dan dianggap terpengaruh pikiran barat.
   Disinilah sebenarnya esensi pencerahannya. Yaitu upaya redefinisi berbagai hal yang telah dianggap baku di masyarkat, dengan melakukan kritik terhadap tradisi, mengkritik definisi kafir, dan definisi ilmu pengetahuan di dalam Islam yang kemudian identik dengan purifikasi. Sementara di sisi lain dilakukan pula proses dinamisasi dengan mendefinisikan ulang modernisasi dalam pandangan umat Islam dan bangsa (yang kelak menjadi) Indonesia pada waktu itu.
   Dan akhirnya, inspirasi Ali Imron 104 yang mendasari inisiatif mendirikan sebuah organisasi harus dipandang sebagai sebuah terobosan sangat berani dimasa itu. Entah predikat liberal bahkan kafir sepertinya bisa disematkan cara menafsirkan ayat al qur’an sehingga organisasi ‘ala’ Belanda terbangun bernama Muhammadiyah. Bahkan Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al Afghani saja tidak pernah membangun organisasi modern seperti ini.
Akhirnya, ‘Sang Pencerah’ memang bisa menjadi cermin bagi bangsa ini untuk terus maju membangun dirinya. Indonesia dengan generasi muda yang tercerahkan. Bukan Indonesia yang hanya membebek nenek moyang, tenggelam dalam tradisi tanpa dasar, alergi terhadap kritik dan tertutup terhadap kemajuan, mudah mengkafirkan ‘liyan’, apalagi pemarah….